Tentang Cyber Law
Cyber law adalah hukum yang
digunakan di dunia cyber (dunia maya), yang umumnya diasosiasikan dengan
Internet. Cyber law dibutuhkan karena dasar atau fondasi dari hukum di banyak
negara adalah "ruang dan waktu". Sementara itu, Internet dan jaringan
komputer mendobrak batas ruang dan waktu ini .
Cyber law merupakan aspek hukum
yang ruang lingkupnya meliputi setiap aspek yang berhubungan dengan orang
perorangan atau subyek hukum yang menggunakan dan memanfaatkan teknologi
internet yang dimulai pada saat mulai online dan memasuki dunia cyber atau
maya. Cyberlaw sendiri merupakan istilah yang berasal dari Cyberspace Law.
Cyberlaw juga merupakan hukum yang terkait dengan masalah dunia cyber. Di Indonesia
saat ini sudah ada dua Rancangan Undang-Undang (RUU) yang berhubungan dengan
dunia cyber, yaitu RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi dan RUU Informasi
Elektronik dan Transaksi Elektronik.
Di tingkat Internasional Perserikatan
Bangsa-Bangsa melalui komisi khususnya, The United Nations Commissions on
International Trade Law (UNCITRAL), telah mengeluarkan 2 guidelines yang
terkait dengan transaksi elektronik, yaitu UNCITRAL Model Law on Electronic
Commerce with Guide to Enactment 1996 dan UNCITRAL Model Law on Electronic
Signature with Guide to Enactment 2001. Sedangkan di Uni Eropa, dalam upaya
mengantisipasi masalah-masalah pidana di cyberspace, Uni Eropa mengadakan
Convention on Cybercrime yang didalamnya membahas jenis-jenis kejahatan apa
saja yang dikategorikan sebagai cyber crime. Di bdiang perdagangan elektronik,
Uni Eropa mengeluarkan The General EU Electronic Commerce Directive, Electronic
Signature Directive, dan Brussels Convention on Online Transactions.
Aturan-aturan serupa juga dikeluarkan lembaga-lembaga internasional seperti
WTO, ASEAN, APEC dan OECD .
Untuk negara-negara berkembang, Indonesia
bisa bercermin dengan negara-negara seperti India, Banglades, Srilanka
Malaysia, dan Singapura yang telah memiliki perangkat hukum di bidang cyberlaw
atau terhadap Armenia yang pada akhir tahun 2006 lalu telah meratifikasi
Convention on Cybercrime and the Additional Protocol to the Convention on
Cybercrime concerning the criminalisation of acts of a racist and xenophobic
nature committed through computer system.
Indonesia masih tertinggal jauh jika
dibandingkan dengan Negara-negara Asia lainnya apalagi jika dibandingkan dengan
negara-negara Uni Eropa yang telah memiliki perangkat hukum lengkap di bidang
cyberlaw.
Untuk membangun pijakan hukum yang kuat
dalam mengatur masalah-masalah hukum di ruang cyber (internet) diperlukan
komitmen kuat pemerintah dan DPR. Namun yang lebih penting lagi selain komitmen
adalah bahwa aturan yang dibuat tersebut yaitu UU ITE merupakan produk hukum
yang adaptable terhadap berbagai perubahan khususnya di bidang teknologi
informasi. Kunci dari keberhasilan pengaturan cyberlaw adalah riset yang
komprehensif yang mampu melihat masalah cyberspace dari aspek konvergensi hukum
dan teknologi. Kongkretnya pemerintah dapat membuat laboratorium dan pusat
studi cyberlaw di perguruan-perguruan tinggi dan instansi-instansi pemerintah
yang dianggap capable di bidang tersebut. Laboratorium dan pusat studi cyberlaw
kemudian bekerjasama dengan Badan Litbang Instansi atau Perguruan Tinggi membuat
riset komprehensif tentang cyberlaw dan teknologi informasi. Riset ini tentu
saja harus mengkombinasikan para ahli hukum dan ahli teknologi informasi. Hasil
dari riset inilah yang kemudian dijadikan masukan dalam menyusun produk-produk
cyberlaw yang berkualitas selain tentunya masukan dari pihak-pihak lain seperti
swasta, masyarakat, dan komunitas cyber.
Selain hal tersebut hal paling penting
lainnya adalah peningkatan kemampuan SDM aparatur hukum di bidang Teknologi
Informasi mulai dari polisi, jaksa, hakim bahkan advokat khususnya yang
menangani masalah-masalah ini. Penegakan hukum di bidang cyberlaw mustahil bisa
terlaksana dengan baik tanpa didukung SDM aparatur yang berkualitas dan ahli di
bidangnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar